Rabu, 01 Februari 2012

BANGUNAN PENINGGALAN BELANDA DI MAKASSAR


A.     Fort Rotterdam


Fort Rotterdam merupakan benteng peninggalan kerajaan Gowa yang dibangun tahun 1545, lokasinya tepat berada di pinggir pantai, sebelah barat kota Makassar. Benteng ini awal mulanya dibangun oleh ayahanda dari Sultan Hasanuddin, yakni Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15, dengan menggunakan batu bata. Arsitektur bangunan benteng saat itu berbentuk rumah tinggal bertiang tinggi tradisional Makassar.
Namun tahun 1667, Benteng ini jatuh ke tangan Belanda setelah Kerajaan Gowa kalah dalam ’Perang Makassar’ dan dipaksa menandatangani ’Perjanjian Bongaya’ sebagai salah satu syarat perjanjian damai antara Kerajaan Gowa dengan Belanda. Belanda kemudian mengubah benteng dari berbentuk segi empat dikelilingi 5 bastion, menjadi berbentuk trapesium dengan tambahan satu bastion di sisi barat. Nama benteng pun diubah menjadi Fort Rotterdam, nama kota tempat kelahiran Gubernur Jendral Belanda Cornelis Speelman, pemimpin pasukan Belanda ketika itu. Benteng ini kemudian difungsikan sebagai pusat pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan.
Benteng itu kemudian dirombak hingga bentuknya menyerupai benteng-benteng di Eropa pada abad pertengahan, seperti yang terlihat saat ini.Bangunan  peninggalan Belanda ini  merupakan salah satu dari puluhan tempat pertahanan  di sepanjang Pantai Makassar yang terbentang dari Barombong hingga Tallo.
Sayang sekali keberadaan Fort Rotterdam semakin terdesak oleh bangunan modern di sekelilingnya. Dimulai Pada 1950, ketika tembok sebelah selatan dan gerbang sebelah timur dirombak dan dibongkar menjadi kantor pos. Sekarang pengunjung hanya bisa melihat bentangan air laut pada salah satu sisi benteng.
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh benteng ini, adalah koleksinya yang cukup lengkap, cuma sayang sekali tidak ada  petunjuk tertulis berupa brosur yang bisa menjadi pegangan bagi pengunjung.Padahal keberadaan brosur sangat membantu wisatawan dalam memperoleh petunjuk mengenai apa saja yang terdapat dalam benteng.
Penataan dan pengelolaan benteng juga dinilai kurang maksimal. Sebagai contoh, terowongan yang terdapat dalam benteng itu telah ditutup permanen. Konon, lorong bawah tanah yang ada dalam benteng ini tembus ke arah lapangan Karebosi, lorong  rahasia itu berfungsi sebagai jalur untuk penghuni benteng menyelamatkan diri ketika terdesak musuh. “lorong bawah tanah itu ditutup,karena dikhawatirkan terdapat bahan peledak yang masih aktif, yang sewaktu-waktu bisa  meledak dan melukai orang-orang yang nekad masuk.” kata salah seorang petugas dari Balai Pelestarian Benda Purbakala-Makassar.
Kita juga tidak dapat masuk ke ruang tahanan. Ruang Tahanan yang pernah digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro itu kelihatan  dari luar sepertinya digunakan sebagai gudang. Pengunjung hanya bisa melihat dari luar dan terhalang jeruji besi dan rang kawat.
1323158987687597228
Padahal  ruang tahanan itu bisa dipermak dengan baik dan pengunjung dibebaskan masuk untuk merasakan nuansa ruang tahanan masa lalu.
B.    Societeit de Harmonie (Gedung Kesenian Sulsel)
Salah satu ikon Kota Makassar..
Societeit de Harmonie, Jl. Prins Hwrid (kini Jl. Riburane No.15)
Societeit de Harmonie dibangun pada tahun 1896 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Bergaya Neo Klasik, gedung yang memiliki luas bangunan dan tanah sebesar 2.339 m2. Gedung ini sedari awal dibangun untuk difungsikan sebagai gedung kesenian. Terletak di Jl. Prins Hwrid (kini Jl. Riburane No.15), gedung ini berdenah berbentuk huruf L, dilengkapi sebuah menara dengan atap berbentuk kubah. 
Societeit de Harmonie dibangun untuk memenuhi kebutuhan akan tempat pertemuan, perkumpulan, pesta pertunjukan sandiwara, musik dan acara resmi lainnya yang dihadiri oleh tamu-tamu penting dan petinggi Belanda. Dengan status kepemilikan negara dan dikuasai oleh Pemprov Sulsel, Societeit de Harmonie merupakan aset peninggalan sejarah yang dilindungi undang-undang dengan nomor register 343 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Sekarang ini gedung peninggalan Belanda tersebut seharusnya direnovasi dan tidak dibongkar total. Tapi pada kenyataannya, hampir seluruh bangunan tua itu telah diratakan.
Societeit de Harmonie,tahun 1930
Societeit de Harmonie,tahun 1930
(Sumber: http://www.majalahversi.com/galeri/societeit-de-harmonie-dewan-kesenian-sulsel)
BANGUNAN PENINGGALAN BELANDA DI KOTA LAIN
DI INDONESIA
A.     Istana Bogor

Istana Bogor
(Sumber:www.wikipedia.com)
Sejarah Istana Bogor dahulu bernama Buitenzorg atau Sans Souci yang berarti "tanpa kekhawatiran". Sejak tahun 1870 hingga 1942, Istana Bogor merupakan tempat kediaman resmi dari 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal Inggris.
Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff terkesima akan kedamaian sebuah kampung kecil di Bogor (Kampung Baru), sebuah wilayah bekas Kerajaan Pajajaran yang terletak di hulu Batavia. Van Imhoff mempunyai rencana membangun wilayah tersebut sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal.
Istana Bogor dibangun pada bulan Agustus 1744 dan berbentuk tingkat tiga, pada awalnya merupakan sebuah rumah peristirahatan, ia sendiri yang membuat sketsa dan membangunnya dari tahun 1745-1750, mencontoh arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat kota Oxford di Inggris. Berangsur angsur, seiring dengan waktu perubahan-perubahan kepada bangunan awal dilakukan selama masa Gubernur Jenderal Belanda maupun Inggris (Herman Willem Daendels dan Sir Stamford Raffles), bentuk bangunan Istana Bogor telah mengalami berbagai perubahan. sehingga yang tadinya merupakan rumah peristirahatan berubah menjadi bangunan istana paladian dengan luas halamannya mencapai 28,4 hektar dan luas bangunan 14.892 m². Namun, musibah datang pada tanggal 10 Oktober 1834 gempa bumi mengguncang akibat meletusnya Gunung Salak sehingga istana tersebut rusak berat.
Pada tahun 1850, Istana Bogor dibangun kembali, tetapi tidak bertingkat lagi karena disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa itu. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist (1851-1856) bangunan lama sisa gempa itu dirubuhkan dan dibangun dengan mengambil arsitektur Eropa abad ke-19.
Pada tahun 1870, Istana Buitenzorg dijadikan tempat kediaman resmi dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penghuni terakhir Istana Buitenzorg itu adalah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachourwer yang terpaksa harus menyerahkan istana ini kepada Jenderal Imamura, pemeritah pendudukan Jepang.
Akhir perang dunia II, Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, kemudian Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Barisan Keamanan Rakyat ( BKR ) sempat menduduki Istana Buitenzorg untuk mengibarkan bendera merah putih. Istana Buitenzourg yang namanya kini menjadi Istana Kepresidenan Bogor diserahkan kembali kepada pemerintah republik ini pada akhir tahun 1949. Setelah masa kemerdekaan , Istana Kepresidenan Bogor mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia.
B.    Gereja Blenduk, Semarang
gereja Blenduk, semarang
Gereja Blenduk
Gereja Blenduk  atau GPIB Immanuel adalah gereje tertua di Jawa Tengah dan salah satu yang tertua di  Indonesia. Gereje Blenduk didirikan tahun 1753 ini merupakan salah satu icon dari Kawasan Kota Lama, Semarang yang secara fisik masih sangat utuh dan bahkan masih digunakan untuk kebaktian oleh Penganut Protestan di Semarang.  Dahulu namanya Koepelkerk, dan terletak di Heerenstraat, yang kemudian menjadi Kerk straat (jalan gereja), sekarang menjadi Jalan Letjen Suprapto.
Pada awalnya, gereja ini berupa bangunan panggung Jawa yang tidak diketahui arsiteknya. Namun oleh   arsitek W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde pada 1894-1895 dirubah secara dramatis dengan menambahkan menara pada bagian depan bangunan. Panggilan Gereja Blenduk diambil dari kubah yang terletak pada puncak gereja yang menonjol sehingga oleh orang  Jawa disebut dengan Mblenduk.
Hasilnya adalah Gereja Blenduk seperti sekarang dengan interiornya juga cantik, dihiasi lampu gantung kristal, bangku-bangku ala Belanda dan kursinya semua masih asli. Lalu ada orgen Barok nan indah, yang sayangnya sudah tidak bisa dipakai (rusak). Tangga dari besi cor (lebur) menuju ke orgen Barok itu buatan perusahaan Pletterij, Den Haag. Salah satu yang menarik bagi yang tidak bisa masuk ke Gereja Blenduk adalah jam pada menara kembarnya, yang masih menggunakan angka IIII menggantikan angka IV.
http://arl.blog.ittelkom.ac.id/blog/files/2011/09/TowerBlenduk-225x300.jpg
Daerah sekitar Gereja Blenduk dinamakan dengan Outstadt atau Little Netherland mencakup setiap daerah di mana gedung-gedung yang dibangun sejak zaman Belanda, hanya yang masih tersisa cukup banyak yang di daerah sekitar Gereja Blenduk.  Beberapa gedung Kuno sekitar Gereja Blenduk misalnya Gedung Jiwasraya, gedung Marba, Peek House.

C.    Lawang Sewu
Lawang Sewu Pasca Restorasi
Lawang Sewu (Seribu Pintu)
(Sumber: http://www.nederlandsindie.com)
Lawang Sewu adalah salah satu bangunan bersejarah yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda, pada 27 Februari 1904. Semula gedung ini untuk kantor pusat perusahaan kereta api (trem) penjajah Belanda atau Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS). Gedung tiga lantai bergaya art deco (1850-1940) ini karya arsitek Belanda ternama, Prof Jacob F Klinkhamer dan BJ Queendag. Lawang Sewu terletak di sisi timur Tugu Muda Semarang, atau di sudut jalan Pandanaran dan jalan Pemuda. Disebut Lawang Sewu (Seribu Pintu), ini dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu.
Bangunan utama Lawang Sewu berupa tiga lantai bangunan yang memiliki dua sayap membentang ke bagian kanan dan kiri bagian. Jika pengunjung memasukkan bangunan utama, mereka akan menemukan tangga besar ke lantai dua. Di antara tangga ada kaca besar menunjukkan gambar dua wanita muda Belanda yang terbuat dari gelas. Semua struktur bangunan, pintu dan jendela mengadaptasi gaya arsitektur Belanda. Dengan segala keeksotisan dan keindahannya Lawang Sewu ini merupakan salah satu tempat yang indah untuk Pre Wedding.
Lawang Sewu Pasca Pemugaran: Setelah cukup lama lawang sewu seperti tak terurus, akhirnya Lawang Sewu dilakukan pemugaran yang memakan waktu cukup lama, akhirnya selesai pada akhir Juni 2011 dan kembali dibuka untuk umum setelah pada tanggal 5 Juli 2011 diresmikan oleh Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono dan dilanjutkan dengan event Pameran Kriya Unggulan Nusantara yang menampilkan produk produk tradisional dari seluruh Nusantara.

D.    Gedung Sate Bandung
Gedung Sate Bandung
(Sumber: http://era90.blogspot.com/2010/04/sejarah-gedung-sate-bandung.html)
Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan objek wisata Indonesia pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda objek wisata di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat dan juga bisa dijadikan referensi tempat wisata Indonesia.
Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda itu disebut Gouvernements Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, Gedung Sate Bandung merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang diantaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan China yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Dalam sejarah Gedung Sate, selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf dan Perpustakaan.
Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara berciri wisata Indonesia.
Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah salah satu tempat wisata Bandung yang memiliki bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan tempat wisata Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.

E.     Benteng Van Der Wijck
Benteng Van Der Wijck merupakan salah satu peninggalan colonial Belanda yang berada di Kompleks Secata A ( Sekolah Calon Tamtama A ) Gombong beralamat di jalan Sapta Marga Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Benteng ini seluruhnya terbuat dari batu bata merah dan memiliki ciri – ciri khusus yang berbeda dengan benteng – benteng lain peninggalan Belanda di Indonesia. Di Benteng inilah Soeharto mantan Presiden Indonesia ke 2 pernah di latih kemiliteranya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9jYmr_v8t8rP5Gy0CAOSdylFJkbp_aw3yqGHAwTVssCGP_7Z1WZd24aLISp_zzTx1U1_m5Zlc5a7RaE-TXWRrs-DxC0vbNngku6WPiRfkiX203joYTTRyGMvIS3JrT0WwUZ2ul7_Y08I/s1600/bentengs.jpg
Benteng Van Der Wijck
(Sumber:http://3.bp.blogspot.com/_/bentengs.jpg)

Benteng Van der Wijck sebenarnya dibangun pada awal abad 19 atau sekitar tahun 1820-an, bersamaan meluasnya pemberontakan Diponegoro. Pemberontakan ini ternyata sangat merepotkan pemerintah kolonial Belanda karena Diponegoro didukung beberapa tokoh elit di Jawa bagian Selatan. Maka dari itu Belanda lalu menerapkan taktik benteng stelsel yaitu daerah yang dikuasai segera dibangun benteng.
Tokoh yang memprakarsai pendirian benteng ini adalah gubernur jenderal Van den Bosch. Tujuannya jelas sebagai tempat pertahanan (sekaligus penyerangan) di daerah karesidenan Kedu Selatan. Pada masa itu, banyak benteng yang dibangun dengan sistem kerja rodi (kerja paksa) karena ada aturan bahwa penduduk harus membayar pajak dalam bentuk tenaga kerja.
Tentu saja cara ini membuat penduduk kita makin menderita apalagi sebelumnya gubernur jenderal Deandels punya proyek serupa yaitu jalan raya pos (Anyer – Penarukan, sepanjang l.k. 1.000 km), juga dengan kerja rodi.
Dilihat dari bentuk bangunan, pembangunannya sezaman dengan benteng Willem (Ambarawa) dan Prins Oranje (Semarang – kini sudah hancur). Pada awal didirikan, benteng dengan tinggi tembok 10 m ini diberi nama Fort Cochius (Benteng Cochius). Namanya diambil dari salah seorang perwira militer Belanda (Frans David Cochius) yang pernah ditugaskan di daerah Bagelen (salah wilayah karesidenan Kedu).
Nama Van der Wijck, yang tercantum pada bagian depan pintu masuk, merupakan salah seorang perwira militer Belanda yang pernah menjadi komandan di Benteng tersebut. Reputasi van der Wijck ini cukup cemerlang karena salah satu jasanya adalah membungkam para pejuang Aceh, tentunya dengan cara yang kejam. Pada zaman Jepang, benteng ini dimanfaatkan sebagai barak dan tempat latihan para pejuang PETA.
Dilihat dari fisiknya, bangunan yang luasnya 3.606,62 m2 ini sudah mengalami renovasi yang cukup bagus. Sayangnya renovasi ini kurang memperhatikan kaidah konservasi bangunan bersejarah mengingat bangunan ini potensial sebagai salah satu warisan budaya (cultural heritage).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiP5tiKlxTIrIhZl4mzmDoQrtVLnAUPFi_SqOkVBPXLhmsWxMUmVYBLAjMpzChHv73TpLPPaD21xCJ79IDNUUcItGXHerzjvk-8fQHruGwkKypeUGx-QaFRt7DlmKgvnL6rowr18RqTBUI/s1600/Benteng-atas.jpg
Bagian tengah Benteng Van Der Wijck
(Sumber:http://3.bp.blogspot.com/_/bentengs.jpg)